Memaknai Semangat Kartini
S. Fitriatul Maratul Ulya
- Mahasiswi Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama
Indonesia
- Pengurus PMII Cabang Kota Semarang Periode XXXVIII
Pada tanggal 21 April kita selalu memperingati Hari Kartini. Di beberapa sekolah memperingatinya dengan beragam cara. Ada yang melakukan kontes kecantikan dengan mengenakan gaun-gaun kebaya tradisional yang kekinian, lomba memasak, lomba cerdas cermat dan kegiatan ekstra lainnya di luar kebiasaan belajar di kelas.
Namun, apa sebenarnya makna Hari Kartini? Apa semangat yang dibawa Kartini hingga siswa mengenangnya dengan cara demikian? Dan apakah selama ini kita telah mengenang Kartini dengan benar?
Semangat Emansipasi
Jika mendengar ‘Hari Kartini’ pasti kita akan ada kata ‘emansipasi’ yang menyusul di belakangnya. Emansipasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai proses pembebasan diri dari perbudakan.
Di masa Kartini, kasta sosial perempuan selalu ditempatkan di bawah laki-laki. Perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan, keluar rumah dan mengambil peran sosial di masyarakat. Bahkan terkadang di masyarakat kita saat ini masih sarat akan anggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi. Sebab, perananya hanya pada lahan dapur, sumur, dan kasur.
Selain akses sosialnya yang terbatas, perempuan juga tidak memiliki otoritas sendiri dalam menentukan pilihan hidupnya. Di masa Kartini, perempuan dipaksa menerima lamaran dari pria manapun yang datang ke rumah dan dipaksa untuk menikah. Selain tidak merdeka ketika masih menjadi seorang anak karena harus tunduk pada orang tua, perempuan juga masih tidak merdeka setelah menikah karena harus tunduk kepada suami.
Emansipasi dalam Islam
Islam merupakan contoh agama yang menganut prinsip egalitarian karena menganggap laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk memperoleh kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Islam hadir membawa misi baru peradaban umat manusia dengan penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia termasuk perempuan.
Seperti tertulis dalam artikel Anwar yang berjudul “Gender and Self in Islam” (2006) mengatakan bahwa peradaban manusia sebelum Islam hadir terutama yang berkembang di Jazirah Arab sangat merendahkan martabat perempuan. Arab sebelum Islam hadir umumnya merendahkan kualitas perempuan karena karakteristik perempuan dianggap berbanding terbalik dengan kualitas laki-laki yang diidealkan.
Pemahaman masyarakat terhadap relasi gender dalam ajaran Al-Qur’an juga tidak dipelajari dengan baik dan mendalam. Masyarakat masih memiliki keyakinan yang membabi buta terhadap penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki. Padahal jika ditelaah secara makna, Al-Qur’an tidak pernah menyebut demikian. Pemahaman bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki hanyalah salah satu interpretasi ulama yang masih menganggap bahwa laki-laki menempati posisi lebih tinggi daripada perempuan (patriarki).
Lebih lanjut, dalam Al-Qur'an secara tegas menyebutkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dari unsur yang satu (nafs wahidah). Itu sebabnya, sebagai sesama manusia yang tercipta dari unsur yang sama, baik perempuan maupun laki-laki tidak diperbolehkan merasa lebih unggul satu sama lainnya.
Karena pada dasarnya manusia adalah setara, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama dalam ranah kepemimpinan. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa setiap manusia memiliki visi sebagai pemimpin (khalifah fil ardh). Untuk menegaskan hal itu, Al-Qur’an secara khusus mengabadikan kisah kepemimpinan Ratu Bilqis dalam Surah Saba’. Tidak hanya itu, dalam isinya Al-Qur’an juga memuji kesuksesan dan kebijaksanaan Ratu Bilqis dalam menjalankan kepemimpinannya.
Membaca Al-Qur'an dengan disertai kebersihan hati nurani akan menyingkap banyak pesan moral yang berujung pada pentingnya komitmen tauhid untuk membebaskan manusia dari belenggu jahiliyah yg berwujud kepicikan, fanatisme buta dan ketaatan mutlak pada interpretasi manusia.
Meski demikian, dalam buku yang ditulis oleh Mun'im Sirry yang berjudul Islam Revisionis memberikan pandangan kritis terhadap peranan agama yang hadir dengan wahyu yang revolusioner dalam mengangkat derajat kaum perempuan. Dalam pandangan Mun'im agama belum sepenuhnya menempatkan perempuan pada posisi setara dengan laki-laki.
Pandangan Mun’im penulis kira bukan semata-mata muncul dari keresahan seseorang dalam beragama. Melainkan faktor sosio-kultur yang mempengaruhi praktik kehidupan masyarakat beragama. Itu sebabnya, emansipasi harus dimaknai sebagai konsep kehidupan merdeka. Merdeka bukan berarti terbebas dari segala macam norma sosial. Namun, merdeka adalah kemampuan seseorang untuk bermusyawarah dalam memutuskan dan menentukan setiap pilihan.
Semangat Kartini adalah menciptakan masyarakat yang saling mendukung. Melalui tulisan-tulisannya, Kartini hidup abadi hingga sekarang. Itulah mengapa, untuk melakukan perlawanan dan menjadi pahlawan kita tidak harus angkat senjata, kita bisa melakukannya dengan mengangkat pena.
Jadi, sudah benarkah kita dalam memaknai dan meneladani Semangat Kartini selama ini?